Berita

Warung Prancis UMY dan Institut Français Indonesia Gelar Diskusi ‘Ramadan di Negara Berbahasa Prancis’

Dalam rangkaian perayaan pekan francophonie, Warung Prancis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) sukses menggelar sebuah diskusi bertajuk ‘Parlez wae: Ramadan dans un pays francophone’ atau ‘Diskusi Ramadan di Negara Berbahasa Prancis’ pada Senin(18/3) lalu. Kegiatan yang bertepatan dengan perayaan bulan Ramadan ini, memberikan wawasan tentang bagaimana umat Muslim merayakan Ramadan di negara-negara berbahasa Prancis.

Mamadou Pouyé dari Senegal dan Manon Papillon dari Prancis, dua narasumber utama, membagikan pengalaman unik dan perbedaan budaya dalam merayakan Ramadan di negara mereka. Pouyé menekankan pada keagamaan kuat di Senegal, dimana mayoritas penduduknya adalah Muslim dan memiliki kepercayaan mendalam kepada tokoh agama mereka.

“Bahkan kepercayaan mendalam kepada tokoh agama di negara kami lebih daripada pemimpin politik. Selain itu, praktik puasa di Senegal sebenarnya sangat mirip dengan Indonesia, meskipun ibadah puasa kami berlangsung lebih lama dan di bawah kondisi cuaca yang lebih ekstrem,” ungkap Pouyé.

Sementara itu, Manon Papillon menyampaikan realitas berbeda di Prancis, dimana lebih dari setengah penduduknya mengidentifikasi diri sebagai ateis. “Pembangunan masjid menjadi tantangan besar bagi umat Muslim di Prancis. Hal ini dikarenakan regulasi yang cukup ketat dan kebanyakan umat Muslim di Prancis adalah imigran. Hal ini tentunya berpengaruh pada tradisi berbuka puasa yang lebih banyak mengikuti kuliner khas negara asal mereka ketimbang tradisi Prancis,” jelas Manon.

Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh Arya Seta, Penanggung Jawab Pedagogi IFI Yogyakarta, yang mendukung sinergi antara Warung Prancis UMY dan IFI Yogyakarta dalam menyelenggarakan acara-acara seperti semaine de la francophonie.

Respons positif datang dari peserta acara, termasuk Bobby Yusuf Riano dan Pepy Celi, mahasiswa UMY yang mengapresiasi insight baru tentang keberagaman praktik Ramadan di negara berbahasa Prancis. “Saya cukup terkejut mengetahui banyaknya masjid yang telah didirikan di Prancis. Ini menandakan adanya toleransi meskipun Islam tetap sebagai agama minoritas di Prancis,” ujar Bobby. Pepy, di sisi lain, terkesan dengan tingkat religiusitas dan pengaruh tokoh agama di Senegal, yang terlihat ada posisi yang berbeda dengan situasi di Indonesia meskipun sesama negara muslim.

Diskusi ini tidak hanya memperluas pemahaman tentang Ramadan di berbagai belahan dunia tetapi juga menguatkan jembatan pengertian dan toleransi antarbudaya.