Penyakit Monkeypox (Mpox) menjadi perhatian global setelah World Health Organization (WHO) mengumumkan status Mpox sebagai keadaan darurat kesehatan global atau public health emergency of international concern (PHEIC) pada 14 Agustus 2024 lalu. ini menyusul peningkatan kasus di Afrika Tengah dan Afrika Barat, terutama di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara di Afrika.
Menanggapi isu tersebut, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY) melalui ICS (Incident Command System) berupaya memberikan edukasi sebagai langkah mitigasi penularan penyakit mpox melalui kegiatan ICS Menyapa dengan tema “Memahami dan mencegah virus Mpox:Langkah maju di era pasca pandemi” siang ini melalui zoom meeting dan live Youtube @umyogya, Jumat (9/6). Mpox adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus monkey pox, yang pertama kali ditemukan pada monyet di tahun 1958. Virus ini termasuk dalam genus orthopoxvirus yang juga mencakup virus smallpox dan cacar sapi. Kasus Mpox pada manusia pertama kali diidentifikasi di Republik Demokratik Kongo tahun 1970. dr. Agus Widiyatmoko, Sp.PD., M. Sc, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UMY spesialis penyakit dalam, mengatakan, Mpox memiliki kesamaan dengan COVID-19 karena penularannya yang berulang. “Kita perlu meningkatkan kesadaran untuk mencegah penyebaran Mpox agar tidak menyebar dengan cepat,” ungkapnya.
Virus Mpox dapat bertransmisi dari hewan ke manusia atau dari manusia ke manusia. dr. Agus menyatakan, penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh yang terkontaminasi atau benda yang terpapar virus. Kontak dengan daging hewan yang tidak diolah dengan baik juga dapat menjadi sumber infeksi.
“Kita juga harus menjaga perlintasan hewan terutama tupai dan tikus, ini bisa menginfeksi inang lain yaitu monyet. Dua hewan ini seringkali menjadi barang perdagangan hewan peliharaan eksotis yang biasa terjadi lintas negara,” ungkapnya.
Gejala umum Mpox menurut dr. Agus dimulai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan, diikuti dengan ruam khas yang berkembang dari macula menjadi papula, vesikel, pustula, dan akhirnya krusta. Masa inkubasi biasanya berkisar antara 6 hingga 13 hari, dan gejala mirip dengan cacar air dengan penambahan inflamasi atau pembengkakan.
“Berbeda dengan COVID-19 yang menular melalui udara, Mpox menyebar melalui cairan yang terkontaminasi,” ujarnya.
Sebagian besar kasus Mpox terjadi pada pria usia 31-40 tahun, terutama mereka yang menjalani hubungan seksual berganti pasangan atau hubungan sesama jenis, karena luka awal sering terjadi di bagian anal. dr. Agus juga mengungkap, sekitar 84,3% kasus terjadi pada pria yang berhubungan seksual dengan pria, sementara 6,5% berasal dari pasien biseksual.
Perawatan utama Mpox sebagaimana disampaikan dr. Agus adalah dengan perawatan suportif, yaitu dukungan nutrisi dan obat-obatan untuk mengatasi demam dan nyeri, serta obat antivirus seperti tecovirimat dan brincidovir, yang masih dalam tahap penelitian. Meskipun aksesibilitas obat di wilayah endemis masih menjadi tantangan, kerja sama global sangat diperlukan.
“Hindari kontak dengan bahan apapun seperti tempat tidur yang pernah bersentuhan dengan hewan yang sakit. Cuci tangan setelah kontak dengan hewan atau manusia yang terinfeksi, gunakan APD saat merawat pasein yang terinfeksi, praktik seks yang aman termasuk membatasi pasangan seks, pemberian vaksin bagi kelompok beresiko termasuk LSL dan ODHIV, juga memasak daging dengan benar dan matang dapat menjadi Langkah pencegahan Mpox,” pungkasnya. (Mut)