Berita

WTO Rugikan Produksi Pangan Indonesia

Saat ini kita lihat harga bahan pokok makanan semakin mahal, mulai dari daging hingga sayur pun ikutan naik harga. Ironisnya, Indonesia yang dikenal dengan negara agraria namun mengimpor bahan pokok makanan terutama sayur dan buah. Kondisi saat ini memang aneh, tapi dengan semangat dari masyarakat Indonesia sendiri, masih ada harapan pertanian atau peternakan di Indonesia untuk bangkit.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Jurusan Program Studi Hubungan Internasional UMY Dr. Nur Azizah, saat memberikan sambutan di acara Seminar Nasional “Konflik Perdagangan Pertanian”, Sabtu (29/9). Acara yang diselenggarakan oleh Komahi UMY berlangsung di ruang sidang gedung AR. Fachruddin B, menghadirkan pembicara dari Kementerian Perdagangan RI Djunari Inggit Waskito, SH, LLM dan Dosen HI UMY Winner Agung Pribadi, S.IP, M.A.

Nur Azizah mengatakan bahwa mahalnya protein hewani maupun protein nabati di Indonesia, disebabkan karena ketergantungan pada negara lain. Walaupun daging disembelih dalam negeri, tapi bibitnya dari luar negeri. Tempe yang dibuat dalam negeri, tapi kedelai diambil dari luar negeri. “Seharusnya Indonesia lepas dari rezim Internasional yang membelenggu pertanian ataupun perdagangan kita. Mulai dari mahasiswa yang mengembangkan wacana, kita harap bisa memberikan penyadaran pada pejabat yang berwenang”, katanya.

Senada dengan itu, Winner dalam materinya menyampaikan bahwa Indonesia tidak seharusnya impor dalam hal pertanian, jika dalam hal teknologi menurutnya sangat wajar. Tingginya impor dan rendahnya ekspor menurut Winner, disebabkan oleh Agreement on Agriculture World trade Organizations (AoA WTO) 1995. “Prinsip AoA itu liberalisasi perdagangan, yang kaki lima disamakan dengan usaha raksasa atau korporasi. Tentu saja petani kita kewalahan bersaing, tapi mau tidak mau kita sudah ratifikasi AoA”, ungkap pakar ekonomi politik UMY ini.

Winner juga berpendapat bahwa AoA sama halnya dengan kolonialisme model baru, seperti filosofi India Vandana Shiva, bahwa kolonialisme model lama menjajah tanah sedangkan kolonialisme model baru menjajah seluruh tatanan kehidupan. “ Sangat tepat yang dikatakan Vandana Shiva, oleh sebab itu kita harus bangkit dari penjajahan atau kolonialisme model baru ini”, terang dosen HI UMY ini.

Sedangkan Direktur Kerjasama Multilateral Kementerian Perdagangan Indonesia Djunari Inggit Waskito, SH, LLM mengatakan, jika dilihat dari pertanian dan perdagangan Indonesia secara global, Indonesia seperti tidak banyak mempunyai peluang. Akan tetapi secara regional di ASEAN, Indonesia masih mempunyai peluang besar untuk bangkit. “ditingkat ASEAN pertanian kita lumayan berpengaruh, ini yang sedang kita galakkan, sehingga nantinya Indonesia bisa menjadi pertanian dan perdagangan yang kuat di ASEAN”, jelas Djunari di UMY. (syah)